Kampung Arab Pekojan


Masuknya Islam di Batavia tak lepas dari kisah keberadaan Kampung Arab Pekojan di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Dalam buku karangan LWC van den Berg, yang berjudul Orang Arab di Nusantara (Jakarta, Komunitas Bambu, 2010), bangsa Arab yang datang ke Tanah Air banyak didominasi dari orang Hadramaut, Yaman Selatan atau bangsa Hadrami.

Dalam buku itu, kaum Hadrami yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat, India. Mereka datang untuk berdagang sambil menyebarkan agama Islam.
Awalnya, kaum Hadrami yang bermigrasi ke Gujarat adalah kaum Sayid. Di Hadramaut sendiri ada empat golongan masyarakat, yakni sayid, golongan suku-suku, golongan menengah, dan golongan budak.
Golongan sayid merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad SAW, yakni Al-Hussain. Keturunannya akrab didengar telinga, yakni bergelar habaib atau habib. Di mana pun keturunan Nabi ini tinggal, mereka membentuk kebangsawanan.
Dari Gujarat, India, para sayid datang ke Tanah Air sekitar abad 18. Mereka awalnya bermukim di Aceh, lalu Palembang dan Pontianak. Baru pada 1820, kebanyakan dari mereka mulai masuk dan menetap di Pulau Jawa, tak terkecuali Batavia.

Bahkan, dalam buku tersebut disebutkan, sensus penduduk Hindia Belanda pada 1885, jumlah kaum Hadramis di Batavia, merupakan yang tertinggi, mencapai 1.448 orang, diikuti Surabaya, 1.145 orang, Gresik 867 orang, Cirebon 834, Pekalongan 757, serta Semarang 600.
Namun, kala itu di Batavia golongan sayid menjadi minoritas kaum Hadrami yang masuk. Kaum sayid Hadrami banyak menetap di Pekalongan. Selama mengembara, kaum Hadrami yang hanya terdiri dari kalangan pria tersebut menikahi anak-anak perempuan para pemimpin dan pemuka setempat. Hal itu lantaran para istri mereka enggan meninggalkan Hadramaut dan memilih kembali tinggal bersama orang tuanya.
Di perantauan, para suami menikahi gadis pribumi atau anak teman sebangsanya. Hanya dalam perantauan inilah terjadi poligami. Di Hadramaut, perceraian jarang terjadi. Para suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan kuat, akan dikucilkan masyarakat golongannya.

Masuk Batavia
Kaum Hadrami mulai menempati Batavia pada 1844. Kala itu, jumlah kaum Hadrami sudah mulai membengkak. Ini akhirnya membuat pemerintah Hindia Belanda menunjuk seorang kapitan Arab yang bakal memimpin kampung Arab. Maklum, kala pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen (1619-1622, 1627-1629) setiap kampung di Batavia dipimpin oleh seorang kapitan.
Dalam buku berjudul Batavia 1740 karangan Windoro Adi dituliskan, tujuan pemerintah Belanda kala itu guna membangun ekonomi kawasan serta mengendalikan keamanan lewat penerbitan surat jalan passen stelsel dan wijken stelsel.
Surat ini harus dibawa saat warga pergi ke luar kampung. Pemerintah Belanda kemudian menetapkan Pekojan sebagai Kampung Arab. Kala itu para imigran Hadrami ini wajib tinggal di Pekojan sebelum pindah ke tempat lain. Oleh karena itu, Pekojan dikenal sebagai cikal bakal kampung Arab di Batavia.
Saat ini, jejak kampung Arab di Pekojan memang tak begitu menonjol. Kampung tersebut kini memang sudah tidak lagi dipenuhi oleh warga keturunan Arab. Malah, di kampung tersebut mendominasi warga keturunan Tionghoa. Meski begitu, Kampung Arab Pekojan tidak pernah meninggalkan tradisinya.
Hal itu terbukti dari empat tempat masjid yang berada di tengah-tengah Kampung Arab, yang masih merupakan simbol sejarah, yang tidak pernah sepi dari jemaahnya. Alhasil, Kampung Arab ternyata masih mempunyai kisah tersendiri yang selalu menarik kaum Islam dari segala penjuru hingga kini.
Taufik Al-Amri (53), pengurus Masjid An-Nawier, salah satu masjid bersejarah di kampung tersebut mengatakan, pemukiman arab di Pekojan seusia dengan berdirinya Masjid An-Nawier, yakni sejak tahun 1760. Menurutnya, kampung Pekojan dijadikan tempat singgah oleh para pedagang Arab karena letaknya tidak jauh dengan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Seiring perjalanan waktu, warga Arab yang mayoritas kaum Hadrami pun tidak hanya menjadikan Pekojan sebagai sebuah tempat transit, tapi juga untuk menetap. Banyak warga Arab yang kepincut dengan gadis lokal Pekojan sehingga mereka memutuskan untuk berkeluarga. “Banyak juga sesama Arab menikah di kampung ini,” jelas Taufik.
Dia menceritakan, warga Arab di Pekojan lebih banyak berasal dari Yaman Selatan. Seiring perkembangan zaman, sebagian dari mereka berpindah ke Condet dan Otista.
Menurut Taufik, wilayah Pekojan yang sering dilanda banjir menjadi salah satu penyebab kepindahan itu. “Sekarang, kalau dihitung-hitung, warga keturunan Arab disini paling cuma 25 persen dari jumlah warga. Tidak lebih dari 80 keluarga, banyak di RW 01 dan RW02,” katanya.
Jamiatul Khair
Yusuf Ambarak (57) warga Jalan Pekojan I Gang 3, menceritakan masjid-masjid bersejarah hingga kini masih terus dikunjungi oleh umat Islam dari segala penjuru Jakarta bahkan Nusantara. Mereka berdatangan untuk tujuan ibadah, atau sekadar napak tilas asal mula warga Arab di Jakarta.
“Ada empat masjid besar di sini yang selalu dikunjungi orang. Masjid yang selalu menarik perhatian, yakni Masjid An Nawir, Masjid Al Anshor, Masjid Langgar Tinggi, dan Masjid Ar-Raudhah Shahbuddin yang dulunya masjid khsusus perempuan,” tuturnya.
Yusuf juga menceritakan, di Kampung Arab Pekojan, pada awal abad ke-20 (1901) berdiri organisasi pendidikan Islam, Jamiatul Khair, yang dibentuk oleh dua bersaudara Shahab, yaitu Ali dan Idrus, di samping Muhammad Al Masyhur dan syaikh Basandid.
Beberapa orang murid Jamiatul Khair yang kemudian dikenal sebagai tokoh pergerakan di Tanah Air diantaranya adalah, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam yang juga mertua dari Bung Karno).
Sementara Abdul Aziz bin Yahya Basyaib, warga Kampung Arab, berkisah, di kampung tersebut juga tidak lepas dari tradisi Arab Betawi, yakni pada setiap malam 27 bulan Ramadan, mereka selalu mengadakan kegiatan khatam Alquran yang perhelatannya diperingati oleh seluruh warga Arab yang ada di Jakarta.
“Tradisi itu juga lekat dengan nasi Kebuli, Kue Kaak. Nanti akan diperingati oleh warga keturunan Arab yang pernah tinggal di Pekojan. Para habib ternama juga pasti hadir di perayaan tersebut,” jelasnya.
Dalam buku Batavia 1740 dituliskan, di Jakarta Barat terdapat dua kampung Arab, yakni Kampung Arab Krukut dan Kampung Arab Pekojan. Di Jakarta Pusat, Kampung Arab Jati Petamburan, Kampung Arab Tanah Abang, dan Kampung Arab Kwitang. Di Jakarta Timur terdapat Kampung Arab Jatinegara, dan Kampung Arab Cawang.
Menurut buku tersebut, kaum Arab Hadrami di Batavia biasanya berdagang kain katun impor, pakaian, batu mulia, minyak wangi, produk kulit, makanan, atau menjadi rentenir. Namun ada juga yang sukses menjadi pengusaha properti, dan memiliki sejumlah pabrik. Bahkan, ada pula kaum Hadrami yang kala itu sukses, sebut saja Sayid Ali bin Sjahab yang dikenal sebagai tuan tanah di kawasan Menteng dan Bassalama sebagai tuan tanah Kwitang Timur.
Peranakan Hadrami-Batavia juga mengembangkan beragam kesenian, yang kemudian menjadi kebudayaan Betawi. Sebut saja musik rebana, orkes gambus, serta tarian zapin.
Antropolog Betawi, Prof Yasmine Zaki Shahab mengatakan, keturunan Arab Hadrami dan Batavia maupun peranakan China sangat berperan dalam membangun kebudayaan Betawi. Hal terebut bisa dilihat dari pakaian pengantin khas Betawi.
“Di kalangan Betawi Kota, pernikahan silang lebih banyak terjadi di antara peranakan Hadrami dan Indonesia,” ucapnya.



Sumber : Sinar Harapan 
http://sinarharapan.co/index.php/news/read/22148/jejak-hadrami-di-pekojan.html

Comments

Popular posts from this blog

Tjakrabirawa di malam kelam 1 Oktober 1965

Jalur Pendidikan HBS - Hogereburgerschool